Ahmad Ginanjar Sya’ban: Pemuka Agama Harus Bisa Menyelaraskan Antara Nilai-nilai Keislaman dan Budaya Lokal

Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.A. dalam acara ngabuburit bareng Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan

JAKARTA, ForumNusantaraNews – Episode ke-18 Ngabuburit bersama Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan “MATA AIR KEARIFAN WALISONGO” pada Kamis, 29 April 2021, mengambil tema ‘Dakwah Kultural Sunan Kudus’ dengan narasumber Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.A. dan dipandu host Rano Karno.

Sunan Kudus adalah satu di antara anggota Wali Songo yang sukses membumikan Islam di nusantara. Nama aslinya adalah Sayyid Ja’far Shadiq seperti yang tertera dalam pahatan batu di Masjid Kudus, yang sampai saat ini masih berdiri kokoh sebagai icon model dakwah Sunan Kudus yang berlandaskan kearifan lokal.

Hal itu disampaikan Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.A. dalam acara ngabuburit bareng Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan, pada hari Jumat (30/4), pukul 17.00 WIB.

“Sunan kudus ini menjadi salah satu icon dari pada walisongo yang hingga saat ini jejak peninggalannya masih kokoh, bagaimana beliau sangat toleran, sangat akulturatif sangat menghargai kearifan lokal, itu terabadikan melalui monumen mesjid Kudus,” jelas Ginanjar.

Strategi dakwah yang ia usung adalah melalui pendekatan seni dan budaya. Ia tidak langsung melarang masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan agama Hindu-Buddha, melainkan merangkulnya pelan-pelan. Berkat kharisma dan keluwesan pergaulannya, Ja’far Shadiq memperoleh simpati dari masyarakat.

Berkat penerimaan dakwah yang disampaikan Ja’far Shadiq, wilayah yang ia bangun masjid di sana berganti dengan Kudus, yang diambil dari kata Al-Quds, sebuah kota suci di Yerusalem. Karena itulah, Ja’far Shadiq dikenal dengan julukan Sunan Kudus. Terbukti, masjid Kudus yang dibangun di masa dakwah beliau memiliki arsitektur unik. Menara masjidnya serupa candi. Sunan Kudus berhasil mengompromikan arsitektur Islam, Jawa, Hindu-Buddha, dan Tionghoa.

“Di masa tuanya sunan kudus menepi dari demak ini ke suatu wilayah yang kemudian ia namai kudus, alasannya mungkin karena menautkan keberkahan pada salah satu kota suci umat Islam yaitu quds atau Jerusalem.”

Direktur Islam Nusantara itu kemudian menjelaskan, berkat kecerdasan dan kedalaman ilmu yang dimilikinya, Sunan Kudus mendapat jabatan strategis di Kesultanan Demak. Ia menjadi seorang penasihat raja, qadhi, panglima perang, mufti, imam besar, mursyid tarekat.

“Sunan kudus pada mulanya adalah seorang mufti atau pimpinan pucuk ulama tertinggi dari kesultanan Demak,” lanjut Ginanjar.

Perjuangan dakwah Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam tampak dari strategi pendekatan sosial dari hati ke hati yang tidak hanya dengan simbolisasi bangunan saja. Sunan Kudus ketika mengajarkan kurban di masyarakat saat itu melarang pengikutnya menyembelih sapi. Hal itu karena sapi adalah binatang yang dianggap sakral oleh masyarakat Hindu. Akhirnya, ajaran tersebut masih dilestarikan sampai saat ini di Kudus.

“Pada waktu Idul Adha masyarakat muslim dilarang menyembelih sapi, karena sapi adalah hewan yang di hormati dalam tradisi Hindu, Buddha, agar mereka perasaannya tidak terciderai,” pungkas Ginanjar. (Red.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *