Catatan : J. Faruk Abdillah. *)
Hari jumat pagi, hingga sabtu malam, puluhan whatsapp masuk ke Hp saya ; dan juga beberapa kali telpon berdering mempertanyakan kebenaran informasi ; tentang kewajiban guru yang akan mengusulkan sertifikasi guru yang ‘diwajibkan’ melampirkan sertifikat vaksin.
Pikir saya, jagad ‘aneh-aneh’ kini merambah di suasana pandemic C19. Setelah sebelumnya kasus penerimaan BST yang harus bersyarat sertifikat vaksin ribut di dunia maya ; dan pada akhirnya dimenangkan para penerima BST.
Info itu saya tanyakan kebenarannya kepada sahabat saya Eddy Rasiadi, Sekda Sumenep yang tergolong sabar,telaten dan cerdas.
Ia tidak menyatakan wajib, tapi dengan tipis-tipis menyatakan diminta melampiri sertifikat vaksin sebagai kelengkapannya. “Yah, ini kan ‘sepupunya’ mewajibkan” bisik hati saya.
Alasan sekdakab saya akui rasional. Sebab para guru sertivikasi itu, nantinya banyak mengajar dibeberapa tempat untuk memenuhi jumlah jam ngajar yang linier perminggu minimal 24 jam dan maksimal 40 jam. Biasanya untuk memburu jam mengajar, guru itu tidak hanya mengajar dalam satu sekolah, ia bisa pindah-pindah dilain sekolah. Memang sangat berbahaya !
“ Masak kamu rela jika para guru itu kelak menyebarkan virus kepada anak-anak siswa ? tanya Sekdakab.
“ Siap Pak Sekda : jawab saya.
“Tapi harus di ingat’ , lanjut saya. UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen tidak mencantumkan pensyaratan sertifikat vaksin sebagai penyaratannya. “ Itu maladministrasi dan perbuatan melawan hukum terhadap UU No 14/2005 jika vaksin dipaksakan sebagai syarat sertifikasi guru.” ujar saya.
“Yah nanti tak diskusikan lagi “ jawab Edy dengan nada bijak.
Ia juga menyitir Perpres no 14/ 2021, khususnya pasal 13A yang memuat beberapa pasal. Pada ayat (2) “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin C19 berdasarkan pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti vaksinasi C19”.
Pasal (4) Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksi C19 yang tidak mengikuti vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administrative berupa :
Huruf (a). Penundaan atau penghentian pemberian jaminan social atau bantuan social. Huruf (b) ‘penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan ; dan/ atau.. Pada huruf (c) denda.
Nah mengkaji pasal-pasal itu, berisi pada titik tumpu penekanan ; “memuat kewajiban vaksin”, “yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin “, dan “sanksi administratif dan/atau denda.
Artinya menolak vaksin bagi yang ditetapkan sebagai sasaran penerima, bisa menebus dengan membayar denda; ya bisa-bisa saja kan?
Hal tersebut juga saya sampaikan lewat Chats saya ke Hp Plt Kadispendik Sumenep Moh. Eksan. Pria yang juga menjabat Kadis Sosial itu ternyata kokoh dengan pendapatnya; “ Wajib ada surat vaksinasi demi keselamatan siswa” ujarnya. Eksan berpendapat sama dengan Sekdakab dengan dalih Perpres 14/2021.
Menurut saya pastinya Perpres tidak boleh ‘menabrak’ UU. Ketentuan UU tidak boleh disisipi oleh berbagai ketentuan lain, meski keadaan sangat darurat. Apalagi hierarki Perpres dalam perundang-undangan dua level dibawah UU.
Peristiwa dibatalkannya, dihapus dan dicoretnya dalam draf RUU Cipta Kerja di DPR RI yang menyatakan PERPU dan PERPRES dapat mengganti, mengubah ketentuan UU yang tidak diubah didalam UU. Itu adalah fakta-fakta hukum bahwa, Perpu dan Perpres tak berdaya melawan bobot UU. Dan kini pasal itu sudah jadi ‘sampah busuk’ !
Perpu dan Perpres tidak bisa ‘mengangkangi’ UU dalam keadaan darurat apapun. Sebab produk hukum ini, jelmaan suara rakyat yang sah.
Dan jika pemerintah menyisipkan aturan syarat-syarat sertifikasi guru/dosen dengan mewajibkan melampirkan sertifikat vaksin, itu kebablasan ‘banget’. Dan Si raja dangdut Rhoma Irama berkata; “Terlalu”.
Sedangkan Perpres 14/2021, yang memuat langsung pasal penghentian sementara bantuan social (BST) bagi yang tidak bisa menunjukkan surat vaksin ; ternyata bablas ! Rakyat miskin kini berdendang dengan kipas-kipaskan uangnya, menghapus dahaga panjangnya.
Kita tiap hari mendapat tontonan yang tak nyaman di tonton, bosan dan monoton. Pemerintah tidak piawai bikin ‘jebakan ajele sotra’, yang halus, lembut, indah dan mempesona.
Sadarlah.! Guru dan dosen untuk mendapatkan sertifikasi guru, jauh-jauh sebelumnya mereka bertarung berebut jam mengajar. Mereka bertahun tahun kucurkan keringat untuk mendapatkan kesempatan itu. Apalagi bagi guru-guru swasta yang dibayar tak sepatutnya. Padahal pengabdian mereka kadang jauh lebih militan dari guru-guru yang sudah ASN.
Kini mereka ada kesempatan, namun syaratnya ‘melilit leher mereka’ dan membuat mereka bak‘terkapar’ dan nyaris hilang harapan. Dan konon, pencairan dana sertifikasi guru kali ini, juga harus melampirkan sertifikasi vaksin.
Pak Bupati, Bu Wabub, Pak Sekda, Pak Kadis dan Pak Dewan ; kita bisa baca tulis dari mereka ; dan anak cucu kita, hari ini mereka yang mengajarinya.
Teganya.., teganya.., teganya.. Kata syair lagu Meggy Z, dalam judul lagu “Senyum Membawa Luka”.
Sukses vaksinasi harus dan pantang mundur..!
Hanya sayang, jika Pemkab Sumenep kurang mampu ber akselerasi dalam ‘mengotak-atik’ UU yang tersedia ; dengan menggunakan methodology kuno dan sakral, milik sesepuh Sumenep, yakni : ‘Politik Ajhele Sotra’.
Bisakah ? Insya Allah bisa, jika di ikuti ikhtiar yang serius dan cerdas.
Mon pas tak bisa beremma ?
Mara nyare pimpinan laenna bai kanak… !
*)Penulis adalah Wartawan Senior. Advokat Bantuan Hukum. Ketua DPC Perkumpulan Advokat Indonesia ( PERADIN ) Sumenep. Berdomisili di Surabaya.
Tinggalkan Balasan