Opini: Bedah Dugaan Kasus Pungli PTSL Blora – Bojonegoro

 

Ilustrasi Gambar

Blora , – Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) diduga, dijadikan ajang pungutan liar (Pungli) oleh oknum Panitia Pelaksana PTSL ditingkat Pemerintah Desa.Sehingga Peraturan SKB 3 Menteri terkesan diabaikan.

Peraturan SKB 3 Menteri Nomer 25/SKB/V/2017, pada Diktum Kesatu, Diktum Keempat, Diktum Kelima dan Diktum Keenam sudah jelas telah diatur untuk Jawa-Bali besaran pembiayaan yang harus dibayar oleh masyarakat peserta PTSL.

Harga perbidang Rp.150.000 yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sudah meliputi pembiayaan Proses Pendaftaran PTSL, termasuk pembelian materai, patok serta pembiayaan operasional, untuk aparatur Pemerintah Desa yang terlibat dan Panitia Pelaksana PTSL.

Dua Kabupaten yang bertetangga, Blora Jawa Tengah dan Bojonegoro Jawa Timur kasus PTSL prakteknya hampir serupa.

Bojonegoro misalnya, Sejumlah Desa penerima kouta Pelaksanaan PTSL, Program unggulan Pemerintahan Presiden Jokowi ini, diduga biaya pendaftaran bagi masyarakat Peserta PTSL, untuk perbidang dipungut biaya Rp.500.000.

Diketahui wilayah bagian barat Kota Bojonegoro, seperti Kecamatan Ngasem, Gayam, Malo, Kasiman, Ngraho, Tambakrejo dan Padangan.

Sedangkan di Kabupaten Blora, diduga harga biaya pendaftaran untuk warga peserta pemanfaatan PTSL perbidang bervariasi, dari harga Rp.350.000 sampai Rp.450.000.

Beberapa orang oknum Kepala Desa dan Ketua Pelaksana Program PTSL yang ditemui di lapangan, ketika dikonfimasi jawabannya tidak jauh berbeda.

Walaupun praktek yang dilakukan beberapa oknum Pelaksana Program PTSL ini sangat dikeluhkan oleh Warga Peserta manfaat PTSL, namun kenyataannya tetap berjalan dengan mulus.

Ali ( nama samaran) warga salah satu Desa di Kecamatan Cepu Blora, mengaku tidak tahu, jika harga yang ditentukan Pemerintah Pusat perbidang hanya Rp.150.000.

” Saya tahu setelah membaca berita di online,”ungkapnya saat ditemui di Warung Kopi Senin, 03/01/2022.

Menurutnya di Desanya, Peserta Penerima manfaat PTSL dipatok harga Rp.350.000.

Dan setelah diadakan penyerahan Sertifikat di Balai Desa, ada penambahan biaya Rp.100.000.

Alasan yang disampaikan oleh Panitia Pelaksana Progran PTSL penambahan biaya tersebut, untuk disumbangkan kepada salah satu Pembangunan Masjid yang sedang berlangsung di Desanya.

Untuk membuktikan kebenaran yang diceritakan warganya itu, Kepala Desa terkait pada hari itu juga langsung dihubungi melalui Via Seluler dan Whatsaap, namun sayang, seteah lama dicoba tidak ada respons apapun dari yang bersangkutan.

Cerita juga datang dari salah satu warga Desa yang berada di Kecamatan Ngraho Bojonegoro, Selasa 10/05/2022.

Sebut saja Barri, ( nama samaran), ia menyatakan, baginya tidak mempermasalahkan jumlah harga yang harus dibayarnya.

” Hanya saja perlu keterbukaan, sehingga masyarakat tidak terkesan dibodohi,”tandasnya.

Sang Kepala Desa juga dihubungi lewat via whatsaapnya. Tapi bernasib sama, setelah ditunggu begitu lama tidak ada tanda tanda untuk menjawabnya.

Salah seorang oknum Kepala Desa di Kecamatan Padangan yang berhasil ditemui di Kantornya, Selasa,29/03/2022,
memberikan penjelasan, perihal patokan harga Rp.500.000 kepada Warga Peserta Penerima manfaat PTSL.Bahwa harga tersebut merupakan hasil produk kesepakatan Musdes.

Dan setelah mencoba ditelusuri di lapangan, hingga akhirnya berhasil menghimpun infotmasi dari beberapa nara sumber, kemurnian hasil Musdes tersebut, ditenggarai ada intervensi dari pihak tertentu. Sengaja dibawa oleh oknum Panitia Pelaksana PTSL demi misi pribadinya, untuk mempengaruhi anggota Musyawarah Desa (Musdes).

Tujuannya supaya harga biaya tersebut disetujui serta mendapat kesepakatan anggota Musdes.

Umumnya mereka (oknun Panitia Pelaksana PTSL) berdalih, bahwa besaran harga biaya tersebut untuk menunjang kinerja dan pembayaran Panitia Pelaksanaan di Lapangan.

Sehingga menurut versi mereka kebijakannya dianggap syah syah saja, karena kebijakan itu berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) daerah setempat.

Padahal Perbup Blora Nomer 50 Tahun 2020 maupun Perbup Bojonegoro Nomer 53 Tahun 2020 yang mengacu pada SKB 3 Menteri Diktum 3 dan Diktum 9, sama sekali tidak tercanrum, pengaturan nominal harga pembiayaan.
Kecuali Bojonegoro Perbubnya yang tetap mengacu kepada Diktum Ketujuh.

Namun diluar anggaran yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat untuk Program PTSL Perbup Bojonegoro dikembalikan kepada Panitia Pelaksana PTSL di Desanya masing masing.

Artinya baik Blora atau Bojonegoro kebijakan yang diambil, hakikatnya sama saja.

Kisaran biaya yang tidak masuk dalam anggaran Pemerintah Pusat nominal pembayarannya tetap dibebankan kepada Masyarakat Peserta manfaat Program PTSL.

Diktum 3 dan 9 SKB 3 Menteri, yang tidak mengatur kisaran biaya secara detil diluar anggaran Pemerintah Pusat, yang kebijakannya dilimpahkan kepada Bupati/Wali Kota masing masing daerah, menimbulkan multi tafsir.

Endingnya oknum Panitia Pelaksana dan jajaran Oknum Pemerintah Desa dibawah, celah ini dimanfaatkan.

Namun bukan tidak mungkin praktek gratifikasi terkait PTSL ini, apabila ada yang mau melakukan audit oleh Lembaga manapun, baik Lembaga Pemerintah maupun Lembaga Indenpenden (Swasta).Seperti LSM misalnya,
bisa dipastikan ada temuan yang mengejutkan.

Seperti kejanggalan pembiayaan yang dibebankan kepada Masyarakat, karena dianggap melampaui harga standart yang ditentukan Pemerintah.

Sehingga para pelaku besar kemungkinan bisa dijerat dengan pasal penyelewengan wewenang dan pasal Praktek Pungli.

Jika itu terjadi, mereka bisa saja diproses secara hukum yang berlaku dan menyeret oknum oknum tersebut ke Penjara.(Ajas)

Keterangan :
Mohon maaf demi kenyamanan bersama, penulis memang sengaja tidak mencantumkan nama Pelaku, nama Peserta PTSL, nama Desa TKP.
Karena tulisan yang disajikan ini hanya berupa rangkuman praktek kasus PTSL dan opini untuk membedah kasus Pungli PTSL.

Penulis Artikel dan Editor Oleh : ACH.JUNAIDI ASZAR (Ajas)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *