AKIBAT SENGKETA PERADES, 3 KADES BLORA JADI TERSANGKA Apa Kata Drs.Budi Setiyadi S.H.M.M Sekjend LPKP2HI

 

Gambar:
Drs.Budi Setiyadi S.H.M.M Sekjend LPKP2HI

 

Blora : Sengketa Perekrutan Pengisian Perangkat (Perades) di Bojonegoro dan Blora mungkin itu hal biasa terjadi.
Bahkan bisa saja hal serupa terjadi di empat daerah Kabupaten lainnya, seperti Ngawi, Tuban, Lamongan dan Rembang yang bertetangga langsung dengan kedua Kabupaten tersebut.

Sepertinya menjadi Perangkat Desa adalah salah satu alternatif favorit pekerjaan setelah PNS dan TNI/POLRI.

Di Madura, apalagi Sumenep tempat aku dibesarkan, menjadi perangkat desa (Pamong Desa) bukanlah sesuatu yang istimewa.
Bahkan sama sekali tidak menarik menjadi pembahasan.

Warga Madura tidak pernah tahu dan tidak mau tahu siapapun yang diangkat oleh Kepala Desanya jadi Pamong Desa.

Pengangkatan Perangkat Desa layaknya seperti pengangkatan Kabinet, kapan saja Kepala Desa mau mengangkat dan memberhentikan bisa dilakukan.
Tidak seorang wargapun atau siapapun mempermasalahkannya.
Masyarakat rupanya sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan menyadari serta menghormati preoregatif Kepala Desanya.
Dan ini masih berlaku sampai saat ini.

Kembali kepada pembahasan persoalan Perades Blora dan Bojonegoro.
Pada tahun 2017 Suyuto atau yang biasa dipanggil Kang Yoto, mantan Bupati Bojonegoro, membuat kebijakan kontroversial, saat diadakannya Pengisian Perangkat Desa sekabupaten Bojonegoro.
membuat kebijakan semua Peserta bakal calon Perangkat Desa sekabupaten Bojonegoro pelaksanaan tes ujian harus ditempatkan di Kota Kabupaten dan dalam pengawasan ketat Panitia yang disetujuinya.

Hal itu dilakukan untuk menghindari penyuapan dan menciptakan netralisasi kompetensi serta mencegah keberpihakan oknum kepada salah satu calon.

Kebijakan Kang Yoto mantan Bupati Bojonegoro, ditentang oleh beberapa oknum Kepala Desa, namun kebijakannya tetap dilaksanakan.

Akibatnya, bermunculan deretan Kepala Desa yang membangkang, karena hak haknya merasa dikebiri.

Ada yang menolak melantik hasil tes Calon Perangkat Desa yang telah dinyatakan lolos oleh penguji.

Bahkan ada tiga oknum Kepala Desa yang berurusan dengan Polisi, karena diduga menerima suap dari calon Perangkat Desa nya.

Konon, untuk menjadi Sekdes para calon bersedia membayar 300 – 500 juta.Sedangkan Perangkat lainnya dari 100 sampai 200 juta.

Maka wajar saja, jika setiap ada perekrutan pengisian perangkat Desa (Perades) selalu menjadi perhatian khusus Masyarakat.

Di era pemerintahan Bupati Bojonegoro Anna Muawanah, persoalan mekanisme Perades sepenuhnya dikembalikan kepada Pemerintah Desa.

Kebijakan Anna Muawanah terkait Perades, disambut dengan rasa suka ria oleh Kepala Desa sekabupaten Bojonegoro.
Pelaksanaan Perades, bervariasi, ada yang pelaksanaannya di kantor Kecamatan, ada di Balai Desa masing masing.

Sikap Anna Muawanah ini, rupanya sangat efektif, sehingga tidak menimbulkan perdebatan, apalagi kericuhan.

Apapun itu, dua Bupati Bojonegoro itu memang patut dicontoh.
Baik Kang Yoto atau Anna Muawanah sama sama memberikan kenyamanan terhadap warganya.

Terpisah, dalam kesempatan Drs.Budi Setiyadi S.H.M.M Sekjend LPKP2 HI, saat dihubungi via telpon selulernya terkait sengketa Perades, ia berpendapat, dilihat dari pandangan hukum, bahwa pengangkatan dan pemberhentian Perangkat Desa itu mutlak preoregatif Kepala Desa, dan sesuai dengan undang undang yang berlaku serta peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2017.

“Cuma disitu kan ada tahapan tahapan regulasi yang harus dilalui oleh Kades.” katanya.Santu, 31/07/2022

Selanjutnya, jika tahapan tahapan tersebut sudah dijalani, terlepas berapa nilai yang didapat oleh Peserta Perades itu tetap hak Kepala Desanya yang menentukannya.

Pelaksanaan Perades di Blora, ada dua tahap
Tahap pertama Tahun 2021.Akhir Tahun 2021 Tahap kedua dilaksanakan.

Dari Tahap pertama sudah timbul percikan sengketa, namun masih bisa dikendalikan.

Tahap kedua, percikan sengketa rupanya semakin meluas, sehingga akhirnya pelaksanaannya molor waktunya sampai memasuki tahun 2022.

Sengketa Perades itu sudah berjalan 7 bulan, namun masih saja berlanjut.
Bahkan ada 3 Kepala Desa yang telah ditetapkan jadi tersangka, karena ada dugaan kuat melakukan kecurangan saat proses Pelaksanaan Perades.

Regulasi pelaksanaan Perades Blora, ada beberapa mekanisme yang harus dilalui oleh calon peserta Perades.
Diantaranya harus mengikuti Tes Computer, kedua Tes Computer Assisted Test (CAT).

Dihimpun dari beberapa nara sumber yang tidak mau disebutkan namanya, dalam tes tersebut tingkat kelulusan Peserta, nilai maksimal 45.
Kemudian nilai tersebut ditambah dengan pembobotan nilai.

Pembobotan nilai itu, sesuai dengan petunjuk Perbup Tahun 2018.

Rinciannya adalah ;
-Peserta Asli Desa nilai pembobotan 30, Luar Desa 15, Ijazah SMA 8, S1 12, Pengabdian Desa ( orang yang bekerja suka relah di Dasa setempat) pembobotan nilai 12.

Pembobotan nilai itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum Kepala Desa, diberikan kepada Peserta Calon Perades yang dikehendakinya.

Misalkan, dengan pembuatan Surat Keterangan (SK) oleh oknun Kepala Desa yang tidak sesuai fakta.

Seperti dugaan kasus Kepala Desa Beganjing Japah, Kepala Desa Nginggil Kradenan dan Kepala Desa Kentong Cepu Blora, dengan isi SK Palsu.

Menurut Drs.Budi Setiyadi S.H.M.M terkait SK pembobotan Nilai dan Pengabdian itu juga hak Kades. Artinya selama SK itu ditanda tangani oleh Kepala Desa sendiri, ” ya gak Palsu, asli!”tegasnya.

“Jika isi daripada SK tersebut dipermasalahkan boleh saja, misalkan tidak sesuai Fakta.

Bukan Penduduk desa setempat dibuat Penduduk asli Desa setempat.Tidak pernah mengabdi ditulis Mengabdi
Itu namanya manipulasi, perlu dipertanyakan? Demikian kata Drs.Budi Setiyadi S.H.M.M (Ajas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *