Forum nusantaranews.com Banyuwangi, Program “Bunga Desa” (Bupati Ngantor di Desa) yang diinisiasi oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan layanan pemerintahan kepada masyarakat akar rumput. Melalui kunjungan langsung ke desa-desa, program ini ingin membangun citra kepemimpinan yang merakyat dan responsif terhadap kebutuhan warga. Namun, di balik pendekatan populis ini, terdapat problem konseptual dan implementatif yang patut dikritisi secara tajam, terutama jika kita mempertanyakan apakah program ini sungguh merupakan simbol kedekatan atau sekadar cermin dari ketidakberesan internal tata kelola daerah.
Secara retoris, “Bunga Desa” menjanjikan pemerintahan yang mendengar langsung aspirasi rakyat. Namun dalam praktiknya, pendekatan yang bersifat seremonial ini kerap kali hanya menghasilkan euforia sesaat tanpa menyentuh akar persoalan struktural. Kehadiran Bupati dan rombongan elite birokrasi di desa sering kali dibingkai secara simbolik dan penuh pencitraan, sementara proses pengambilan kebijakan tetap berlangsung top down. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang antara narasi kedekatan dan substansi perubahan kebijakan. Kedekatan yang dibangun tidak selalu paralel dengan perbaikan kualitas pelayanan publik yang berkelanjutan.
Program ini juga menyingkap wajah lain dari birokrasi yang masih bersandar pada pendekatan personalistik alih-alih sistemik. Ketika kepala daerah harus “turun langsung” ke desa untuk menegur atau memantau pelayanan dasar, hal itu justru menjadi indikasi lemahnya sistem supervisi dan akuntabilitas internal di tingkat bawah. Dengan kata lain, “Bunga Desa” dapat dibaca sebagai pengakuan terselubung atas disfungsi struktural dalam birokrasi lokal, di mana kelambanan dan inefisiensi pelayanan publik menjadi masalah yang belum ditangani secara institusional. Kedekatan yang ditampilkan justru menutupi ketidakberesan sistemik yang lebih mendalam.
Lebih jauh, secara politis program ini berpotensi menjadi instrumen mobilisasi dukungan yang dibalut dalam narasi pelayanan. Ketika kegiatan “Bunga Desa” diselenggarakan dengan publikasi masif melalui media sosial dan kanal resmi pemerintah, pesan yang disampaikan cenderung lebih menonjolkan citra personal pemimpin ketimbang evaluasi kritis terhadap capaian pembangunan desa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan politisasi layanan publik yang seharusnya bebas dari kepentingan elektoral. Dalam konteks ini, “kedekatan” berubah menjadi strategi representasi visual yang tidak selalu berbanding lurus dengan dampak nyata bagi kesejahteraan warga desa.
Dengan demikian, alih-alih dipuji sebagai terobosan inovatif, “Bunga Desa” perlu dibaca ulang dengan kacamata kritis. Simbolisme yang dibangun harus diimbangi dengan rekonstruksi sistemik agar pelayanan publik tidak hanya tergantung pada kehadiran simbolik pemimpin daerah. Bila tidak, maka “Bunga Desa”tak lebih dari cermin ketidakberesan internal birokrasi daerah yang dipoles dalam narasi populis. Reformasi institusional dan perbaikan mekanisme pengawasan harus menjadi prioritas utama, jika memang visi mendekatkan pemerintah pada rakyat ingin diwujudkan secara substantif.
RED. Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th,. CBC (Aktivis & Akademisi)