AWAS ‘PREDATOR’ APBD SUMENEP..!!!?

Catatan : J. Faruk Abdillah *)

Kasus ‘peringkusan’ 25 anggota DPRD Kabupaten Enim lantaran terlibat  terima suap dan pengesahan APBD tahun 2019 oleh KPK, bukti adanya ‘kongkalingkong’ dalam penyusunan dan pengesahan APBD. Padahal sebelumnya pernah terjadi ‘peringkusan’ sejumlah anggota DPRD bersama bupatinya yang telah dipertontonkan oleh KPK, misalnya kasus Bupati dan anggota DPRD Kabupaten Malang.

Catatan APBD Sumenep yang saya tulis pekan lalu dengan judul “ Menanti Rupa APBD Bismillah “, ternyata cukup menyengat hati rakyat. Satu Jam setelah tulisan itu tersebar, Japri dan telpon sambung- menyambung di dua nomor HP saya nyaris tiada henti.

Beberapa tokoh di pedesaan menanggapi tulisan itu dan men japri saya dengan tulisan : Hshshsuj, Bahaya…hhhh. Mantap. Hajar terus. Dan aneka komentar seperti mendukung isi tulisan itu dari warga Sumenep yang peduli nasib pembangunan di Sumenep.

Ada pula yang bertanya-tanya, kenapa sering menulis esei ? Saya jawab ; bahwa menulis adalah ruh jurnalis yang tidak pernah lenyap dan padam begitu saja. Ia seperti kodratnya air pegunungan yang turun mencari lembah ; kendati melintasi beribu kelokan ngarai, air itu tetap mencari cawan yang lebih luas, yakni samudera luas.

Tak sedikit yang meminta saya untuk buat Podcast analisis tentang produk-produk hukum dan kebijakan pemerintahan yang melakukan praktek menyimpangan yang berjalan di negeri ini cukuap lama.

Ada pula yang menelpon khusus dan mengabarkan kepada saya tentang situasi yang sesungguhnya dalam perencanaan APBD (RAPBD), pembahasan hingga di sahkan menjadi APBD Sumenep.

Tak terkecuali ada pula birokrat Sumenep merespon atas tulisan tersebut dengan nada kecewa. Sayang kekecewaan sang birokrat tidak menyuguhkan fakta-fakta yang menerangkan tata cara penyusunan hingga pengesahan APBD Sumenep serta pengalokasian dana tersebut. Sang birokrat seperti menghindari diskusi lebih dalam lagi tentang APBD Sumenep.

Namun semua itu saya tangkap dengan positif ; bagaimanapun mereka menanggapi dengan proporsi, skill dan berdasarkan asumsinya masing-masing.

 

Bagaimana terbentuknya APBD ?

 

Menjadi rahasia umum, kwalitas pembuatan Rancangan APBD dan pelaksanaannya yang penuh dengan dugaan rekayasa, suap-menyuap, sandera-menyandera antar pembuat peraturan tersebut.

Fakta-fakta temuan KPK yang diklaporkan Ketua KPK Firli Bahuri seperti yang terungkap di berbagai media. Dari 33 tersangka di kementrian, 22 Gubenur, 141 Kepala daera/ bupati/ wali kota, 304 legislatif dan 345 swata/rekanan, pada akhirnya ujung-ujungnya duit. Ada suap, korupsi, balas budi, gratifikasi, dan lainnya, dalam pembuatan perturan.

Informasi itu diperoleh Firli Bahuri dari rumpun informasi eksekutif dan legislatif selama melakukan sosialisasi diberbagai daerah.

Sudah menjadi rahasia umum pula ; bahwa ada dugaan permainan yang menjadi isue besar, bahwa di duga setiap pembahasan APBD mengalir ‘dana pelicin’ untuk menggolkan paket kegiatan yang ‘ bergizi’ tinggi. Bahkan masih ada pembagian paket kegiatan sebelum dan setelah di sahkan.

Tentu Firli Bahuri cukup paham tentang itu, sebab KPK sudah menangani puluhan kasus, bahkan ratusan kasus yang berhubungan dengan pembuatan Perda APBD diseluruh tanah air..

Kasus yang terjadi di Kabupaten Muara Enim, adalah kasus tahun 2019 yang juga terkait dengan APBD Kabupaten itu. Begitu pula dengan kasus di Kabupaten Malang.

Bagaimana dengan APBD Sumenep ?

 

Kendati mendapatkan penghargaan WTP ( Wajar Tanpa Perkecualian ) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tidak berarti kabupaten/kota bebas melenggang.  Sebab WTP tidak berarti bebas dari tindak pidana korupsi. Banyak daerah yang memperoleh WTP, ternyata dikemudian hari bupati & legislatifnya memakai rompi orange di gedung KPK.

Kabupaten Sumenep dari waktu ke waktu yang cukup panjang; memiliki catatan buruk yang melintas dalam hal tindak pidana korupsi. Di Zaman Orba kita masih mengingat kasus “ Sumenep Kelabu “ sekitar tahun 70 an, yakni kasus dugaan pembangunan gedung SDN Inpres fiktif. Sayangnya Yudikatif di era itu, belum sekuat hari ini, sehingga tak terungkap jelas. Namun kawan-kawan wartawan generasi pertama, seperti saya , Agus Bhirawa dan H. Kandar, merekam kebenaran berita itu.

 

Adapula kasus DAU yang menyeret Sekda H. Hadori ke Rutan Madaeng, pada era Bupati KH. Ramdlan Siraj. Kemudian Kasus PT. Wira Usaha Sumekar ( PT. WUS ) yang menyeret Sitrul Arsy dan Tufadi ke Pengadilan Tipikor Surabaya di era Bupati KH. Busyro Karim.

Pada kasus PT WUS , saya paham secara detail bagaimana tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh ‘orang-orang’ Sumenep, sebab saya mengikuti sidang tersebut  secara runtut, karena bersamaan/berurutan dengan sidang-sidang clien saya di

Tipikor Surabaya. ( Insya Allah kisah sidang PT WUS akan saya tulis lain waktu secara bersambung )

APBD adalah produk hukum antara eksekutif dan legislatif ; kolaborasi dua kekuatan yang diatur dalam hukum tata negara kita dan diatur pula dengan peraturan perundang- undangan lainnya.

Ketatnya tata cara pembahasan APBD diatur juga dalam Permendagri 27 Tahun 2021. Membaca ketentuan Permendagri yang satu ini, rasanya tidak ada  celah untuk neko-neko, jelas dan gamblang.

Namun bisa saja hukum itu dilanggar dengan akal-akalan dan umpet-umpettan ; tapi seperti pesan saya dalam sebuah grup wast up; “ Dalam ilmu forensik administrasi mata anggaran, setiap perbuatan pidana akan menyisakan sampah busuk. Dan itu pasti terendus jika ditelusuri orang-rang yang paham. Sebab pidana anggaran, lebih banyak dimulai dari yang direncanakan. Dan ada juga malad administrasi yang terencana. Keduanya punya tali-temali yang kuat dalam tindak pidana “:.

Menengok banyak APBD di berbagai kota/kabupaten yang terungkap oleh KPK, bukanlah hasil operasi tangkap tangan ; akan tetapi dari laporan, analisis dan beberapa alat bukti yang cukup.

Pada APBD Sumenep; saya punya “keragu-raguanyang sehat, meski tidak sepenuhnya yakin. Bisa jadi dan diduga ada celah yang mungkin bisa dimasuki KPK, seperti yang terjadi di Kabupaten Enim dan Kabupaten Malang. Termasuk APBD 2022 yang baru saja di dok, sekilas pandang dari jauh: ada dugaan ‘kejanggalan’.

*) Penulis adalah Wartawan Senior. Kini Advokat Bantuan Hukum. Ketua DPC Perkumpulan Advokat Indonesia ( PERADIN ) Sumenep. Domisili di Surabaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *