JAKARTA, ForumNusantaraNews – Saat ini, kami memiliki pemahaman yang kuat tentang prasyarat sosial yang mengarah pada kemungkinan hasil seperti terorisme, kekerasan, kejahatan properti, pelecehan hak asasi manusia, gangguan mental, penyimpangan seksual, konflik, kecanduan narkoba, dan sejumlah perilaku lain. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bukan tempat yang bahagia, ada riwayat penyakit mental, pelecehan seksual atau fisik, atau gangguan mental.
Sebuah studi yang keras, secara statistik tidak memihak tentang akar penyebab terorisme pada tingkat individu akan membutuhkan identifikasi kontrol, pemuda yang terpapar pada lingkungan yang sama, yang merasakan penghinaan, pelecehan hak asasi manusia, dan perampasan hak, tetapi yang memilih cara-cara tanpa kekerasan untuk mengekspresikan keluhan mereka.
Lebih jauh, untuk mengidentifikasi secara lebih sistematis atribut organisasi teroris yang berkorelasi dengan “keberhasilan” (betapapun didefinisikan), penting untuk memeriksa berbagai kelompok dengan berbagai tujuan yang diakui, dan berupaya untuk mencari tahu faktor-faktor penyebabnya. Saya berharap bahwa “faktor-faktor risiko” yang saya identifikasi dapat berfungsi sebagai dasar penelitian yang lebih sistematis oleh para sarjana masa depan.
Saat ini, kami memiliki pemahaman yang kuat tentang prasyarat sosial yang mengarah pada kemungkinan hasil seperti terorisme, kekerasan, kejahatan properti, pelecehan hak asasi manusia, gangguan mental, penyimpangan seksual, konflik, kecanduan narkoba, dan sejumlah perilaku lain.
“Saya telah menghabiskan tahun-tahun terbaik dalam hidup saya memberi orang kesenangan, membantu mereka bersenang-senang, dan yang saya dapatkan hanyalah pelecehan, keberadaan seorang pria yang diburu.”
Yang Terhormat Presiden Joko Widodo, saya seorang Pria, berinisial MS, hanya ingin mencari nafkah di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat), saya hanya ingin bekerja dengan benar, menunaikan tugas dari pimpinan, lalu menerima gaji sebagai hak saya, dan membeli susu bagi anak semata wayang saya.
Sepanjang tahun 2012-2014, selama 2 (dua) tahun saya dibully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh.
Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada tahun 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang sehingga saya tertekan dan hancur peralahan.
Tahun 2015, mereka beramai-ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan ‘MENCORAT CORET BUAH ZAKAR SAYA MEMAKAI SPIDOL’. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga, foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online.
Pelecehan seksual dan perundungan tersebut mengubah pola mental, menjadikan saya stres dan merasa hina, saya trauma berat, tapi mau tak mau harus bertahan demi mencari nafkah. Harus beginikah dunia kerja di KPI? Di Jakarta?
Kadang di tengah malam, saya teriak-teriak sendiri seperti orang gila. Penelanjangan dan pelecehan itu begitu membekas, diriku tak sama lagi usai kejadian itu, rasanya saya tidak ada harganya lagi sebagai manusia, sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Mereka berhasil meruntuhkan kepercayaan diri saya sebagai manusia.
Saya tidak tahu apakah para pria peleceh itu mendapat kepuasan seksual saat beramai-ramai menelanjangi dan memegangi kemaluan saya, yang jelas saya kalah dan tak bisa melawan. Saya bertahan di KPI demi gaji untuk istri, ibu, dan anak saya tercinta.
Tahun 2016, karena stres berkepanjangan, saya jadi sering jatuh sakit. Keluarga saya sedih karena saya sering tiba-tiba gebrak meja tanpa alasan dan berteriak tanpa sebab. Saat ingat pelecehan tersebut, emosi saya tak stabil, makin lama perut terasa sakit, badan saya mengalami penurunan fungsi tubuh, gangguan kesehatan.
Pada tanggal 8 Juli 2017, saya ke Rumah Sakit PELNI untuk Endoskopi. Hasilnya, saya mengalami Hipersekresi Cairan Lambung akibat trauma dan stres.
Pada tahun 2017, saat acara Bimtek di Resort Prima Cipayung, Bogor, pada pukul 01:30 WIB, saat tidur, mereka melempar saya ke kolam renang dan bersama-sama menertawai seolah penderitaan saya sebuah hiburan bagi mereka. Bukankah itu penganiayaan? Mengapa mereka begitu berkuasa menindas tanpa ada satu pun yang membela saya. Apakah hanya karena saya karyawan rendahan sehingga para pelaku tak diberi sanksi? Di mana keadilan untuk saya?
pada tanggal 11 Agustus 2017, saya mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komnas HAM melalui email. Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan apa yang saya alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Maka Komnas HAM menyarankan saya agar membuat laporan Kepolisian.
Tahun 2017, karena berobat ke dokter penyakit dalam tak kunjung sembuh, berdasarkan saran keluarga akhirnya saya pergi ke Psikiater di RS Sumber Waras. Dari Psikiater, saya diberi obat penenang selama 1 minggu.
Sepanjang tahun 2018, karena tidak kuat dibully dan dimaki, usai tugas kantor selesai, saya sering menyendiri di Mushola hanya untuk menangis dalam kesunyian. Kadang saya pulang ke rumah di jam kerja hanya untuk menghindari perundungan yang tak sanggup saya tanggung. Mereka terus merundung dengan kata-kata kotor dan porno seolah saya bahan hiburan mereka. Tapi karena dimarahi ibu agar bekerja sampai tuntas, saya akhirnya terpaksa kembali ke kantor.
Karena saya sering menyendiri ke mushola, para pelaku memfitnah saya meninggalkan pekerjaan, padahal saya trauma oleh kebejatan mereka dan tugas kantor selalu saya selesaikan dengan baik.
Karena tak betah dan sering sakit, pada tahun 2019 saya akhirnya pergi ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi. Tapi petugas malah bilang, “Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan.”
Pak Kapolri, bukankah korban tindak pidana berhak lapor dan Kepolisian wajib memprosesnya?
Akhirnya saya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis, saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap “ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar”.
Sejak pengaduan itu, para pelaku mencibir saya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Tapi mereka sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas saya dengan kalimat lebih kotor. Bahkan pernah tas saya di lempar keluar ruangan, kursi saya dikeluarkan dan ditulisi “Bangku ini tidak ada orangnya”. Perundungan itu terjadi selama bertahun-tahun dan lingkungan kerja seolah tidak kaget. Para pelaku sama sekali tak tersentuh.
Saya makin stres dan frustrasi. Akhirnya berdasarkan saran keluarga, saya konsultasi ke Psikolog di Puskesmas Taman Sari. Hasilnya, saya divonis mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
Bingung menghadapi lingkungan kerja yang penuh predator dan penindas, akhirnya di kantor saya hanya bisa curhat ke Pak Buhul. Dia sopirnya Komisioner KPI Pusat, Bu Nuning Rodiyah. Saya butuh teman bicara di kantor, sebab pasca pemindahan saya ke ruangan lain, nyatanya tidak mengakhiri perundungan yang dilakukan para pelaku.
Karena perundungan terus terjadi dan saya makin lemah, sering sakit, terhina tiap saat, pada 2020 saya kembali ke Polsek Gambir, berharap laporan saya diproses dan para pelaku dipanggil untuk diperiksa. Tapi di kantor polisi, petugas tidak menganggap cerita saya serius dan malah mengatakan, “Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya.”
Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor Polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di-BAP? Kenapa pelaku tak diperiksa? Kenapa penderitaan saya diremehkan? Bukankah seorang pria juga mungkin jadi korban perundungan dan pelecehan seksual? Saya tidak ingin mediasi atau penyelesaian kekeluargaan. Saya takut jadi korban balas dendam mereka, terlebih kami berada dalam satu kantor yang membuat posisi saya rentan.
Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur. Bayangkan, kelamin saya dilecehkan, buah zakar saya bahkan dicoret dan difoto oleh para rekan kerja, tapi semua itu dianggap hal ringan dan pelaku masih bebas berkeliaran di KPI Pusat. Wahai Polisi, di mana keadilan bisa saya dapat?
Apakah harus jadi perempuan dulu supaya Polisi serius memproses kasus pelecehan yang saya alami? Apakah tangan saya harus dibacok sampai putus atau perut saya diiiris berdarah dulu baru penganiayaan yang saya alami diperhatikan orang lain?
Ketidakpercayaan atau ketidakseriusan orang-orang terhadap apa yang saya alami yang membikin saya makin frustrasi dan stres. Seolah saya makhluk paling hina dan tidak ada gunanya di muka bumi.
Pada Oktober 2020, saya juga mengirim pesan ke Pengacara kondang Hotman Paris dan Mentalist Deddy Corbuzier untuk meminta tolong via DM Instagram. Tapi sayang, mereka berdua tidak merespon. Mungkin mereka sibuk dan tak punya waktu membantu saya yang hanya karyawan rendahan di KPI Pusat.
Pak Jokowi, Pak Kapolri, Menkopolhukam, Gubernur Anies Baswedan, tolong saya. Sebagai warga negara Indonesia, bukankah saya berhak mendapat perlindungan hukum? Bukankah pria juga bisa jadi korban bully dan pelecehan? Mengapa semua orang tak menganggap kekerasan yang menimpaku sebagai kejahatan dan malah menjadikannya bahan candaan? Usai lapor atasan, mengapa pelaku tidak di sanksi? Seperti inikah lingkungan kerja di KPI Pusat?
Dengan rilis pers ini, saya berharap Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia mau membaca apa yang saya alami. Saya tidak kuat bekerja di KPI Pusat jika kondisinya begini. Saya berpikir untuk resign, tapi sekarang sedang pandemi Covid-19, di mana mencari uang adalah sesuatu yang sulit.
Dan lagi pula, kenapa saya yang harus keluar dari KPI Pusat? Bukankah saya korban? Bukankah harusnya para pelaku yang di sanksi atau dipecat sebagai tanggung jawab atas perilakunya? Saya BENAR, kenapa saya tak boleh mengatakan ini ke publik.
Dan, kalau keluar dari kantor yang penuh perundungan, saya takut tidak bisa menafkahi keluarga, terutama anak dan istri tercinta. Perundungan dan pelecehan seksual yang saya alami sungguh membuat tidak kuat bekerja di KPI Pusat. Tapi saya tidak ingin menambah jumlah pengangguran di negara ini.
Untungnya berkat diskusi dengan teman saya yang pengacara, aktivis LSM, saya sedikit menjadi berani untuk bicara. Oleh karenanya, saya bertekad membuka kisah saya ke publik.
Berikut nama nama pelaku dan daftar perbuatan yang mereka timpakan padaku:
1.Nama Pelaku: Rachmat Muslim alias Olim (Divisi Humas bagian Protokol di KPI Pusat)
Perbuatan:
– Selama 2 tahun (2012-2014) memaksa saya membelikan makan seolah saya budak mereka.
– Sering memaki bernuansa SARA dan rasis seperti “Dasar Padang pelit!” dan mengatakan “Banci Lu!”
– Memimpin penelanjangan dan melecehkan seksual
– Merundung secara verbal (memaki, mencemooh, menghina, dll).
– Sembarangan menuduh bapak saya sakit karena semasa hidup makan uang korupsi padahal dia tak tahu apa apa tentang keluarga saya.
TKP: KPI Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
2. Nama Pelaku: Taufik Setiaji dan Said Gozali (Divisi Visual Data)
Perbuatan: Sepanjang tahun 2012-2015, mereka berdua membully dan mengatakan,” Bapakmu sakit keras karena kamu anak durhaka!” “Kamu kok belum nikah, gak laku ya”.
TKP: KPI Pusat Jalan Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
3. Nama Pelaku: Remon Torisno (Divisi Visual Data)
Perbuatan: Pada tahun 2015, pelaku berperan memegangi tangan dan kaki kiri saya, lalu bersama sama menelanjangi saya di kantor KPI Pusat. Di lain waktu, Remon juga pernah menendang bangku saya ketika sedang beristirahat sehingga saya merasa terintimidasi dan ketakutan. Pada 2017, di Resort Prima Cipayung, Bogor, Remon berperan melempar saya ke kolam renang pada pukul 01:30 WIB.
4. Nama Pelaku: Febri Pratomo (Divisi Visual Data)
Perbuatan:
– Pada tahun 2015, pelaku berperan memegang tangan dan kaki kanan saya, lalu secara bersama sama menelanjangi saya.
– Memukul kepala saya di Tangga lantai 5
– Mengatai saya di grup percakapan kantor dengan ucapan porno dan kalimat kotor
TKP: KPI Pusat Jl Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten :
5. Nama Pelaku: Eries Oktavistanus (Divisi Visual Data)
Perbuatan: Pada tahun 2015, setelah saya telanjang dan dalam keadaan dikeroyok tak berdaya, Eries berperan mencorat coret Buah Zakar saya dengan Spidol.
TKP: KPI Pusat Jl Gajah Mada, Jakpus, Gedung Bappeten.
6. Nama Pelaku: Cahyo Legowo (ex divisi visdat, sekarang divisi Humas bagian desain grafis)
Perbuatan: Pada tahun 2015, berperan memfoto kelamin saya yang sudah dicoret dan menyimpan gambar asusila. Saya tidak tahu foto yang masuk kategori pornografi itu sekarang disimpan dimana, yang jelas saya sangat takut jika foto tersebut disebarkan ke publik karena akan menjatuhkan nama baik dan kehormatan saya sebagai manusia.
7. Nama Pelaku: Teguh Kadarisman (Divisi Visual Data)
Perbuatan:
-Tahun 2019, pelaku melempar/membuang tas saya sampai keluar ruangan kantor.
-Menyingkirkan bangku kerja saya sampai keluar ruangan kantor dan menulis “Bangku ini tak ada orangnya!”
TKP: Gedung baru KPI Pusat, Jalan Ir H Juanda No 36, Jakpus.
Dengan rilis pers ini, saya berharap rekan rekan media dapat memuat kisah ini. Bantu saya mempublikasi ini, barangkali dengan meluasnya cerita saya ini, Komisioner KPI Pusat jadi tergerak hatinya untuk menjatuhkan sanksi pada pelaku dan Polri mau memproses laporan saya. Terima kasih. Tulisan seorang Penyintas yang berinisial MS, pada hari Rabu, 1 September 2021.
Tinggalkan Balasan