JAKARTA FN News – Jumlah perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selama tahun 2021 meningkat dibanding tahun 2020.
“Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar, tren kasus PKPU tercatat meningkat. Jika pada tahun 2020 terdapat 637 perkara PKPU, tercatat pada tahun 2021 terdapat 732 perkara PKPU,” Ungkap Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jamaslin James Purba, Minggu (2/1/2022).
Menurutnya, meningkatnya perkara PKPU selama tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020 karena makin banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan untuk membayar kewajiban utangnya secara tepat waktu, sehingga di ajukan restrukturisasi melalui Pengadilan Niaga.
Dikatakan, banyaknya perusahaan yang memilih jalur PKPU, mengindikasikan meningkatnya kepercayaan terhadap model restrukturisasi massal melalui PKPU. Restrukturisasi utang melalui pengadilan niaga dianggap lebih efektif dan efisien.
Meningkat atau menurun nya PKPU di tahun 2022 tergantung pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. “Ya faktor-faktor yang signifikan adalah kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19,” Sambungnya.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani khawatir terjadi peningkatan PKPU. Sebab itu, Ia mengusulkan perlunya dilakukan moratorium Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di tengah pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan stabilitas perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih. Pertumbuhan ekonomi Nasional yang melambat; Peningkatan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran; yang disertai dengan Peningkatan Kasus PKPU dan Kepailitan selama pandemi Covid -19 terhadap perusahaan-perusahaan yang menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi yang dibangkrutkan/ dipailitkan telah menimbulkan kondisi Kedaruratan Nasional.
“Jadi itu alasannya. (Usulan) moratorium (Kepailitan dan PKPU) itu bukan hanya semata-mata moratorium, tapi memang harus dibenahi UU nya,” ujar Hariyadi.
Apindo menilai terdapat banyak celah hukum pada UU No. 37 tahun 2004 yang telah dikaji oleh berbagai pakar hukum dalam rangka revisi UU nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Lebih lanjut Hariyadi menyayangkan revisi UU 37/2004 tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2022. Padahal menurutnya, urgensi UU tersebut untuk direvisi mendesak untuk segera dilakukan.
“Kembali lagi karena kan harusnya pemerintah yang mengambil inisiatif (revisi UU 37/2004) dan itu ngga bisa dianggap remeh karena UU nya bermasalah,” ucap Hariyadi.
Tinggalkan Balasan