Catatan : J. FARUK ABDILLAH *)
Minggu pagi, saat matahari yang nampak masih murung, telpon berdering berkali-kali dari balik kantong training celana saya.
Kendati agak malas dan nafas masih ngos-ngosan, saya terima telpon itu. Setelah bercakap-cakap, saya tutup. Namun berdering lagi dan berdering lagi, hingga tujuh kali.
Disamping ketujuh penelpon itu, lebih dari sepekan lainnya telpon serupa juga bercerita tentang PPKM Darurat. Seluruhnya merespon tulisan lepas saya yang beberapa hari ini sering muncul di media. Mereka membenarkan suasana yang tertuang dalam tulisan saya.
Suasana ‘horor’, ketakutan, waswas dan kebingungan, kurangnya beaya hidup menyelimuti keseharian mereka.
Lemahnya tata kelola ‘crisis’ sangat telanjang kini dilihat mata; keluarnya penjelasan Wapres Ma’ruf Amien, Inmendagri, Surat Edaran Menag, Gubenur dan Bupati yang penekanannya ‘peniadaan’ kegiatan Sholat berjemaah, nyaris kurang tidak dipatuhi.
Bahkan beberapa pengurus Masjid dengan ‘beraninya’ mengusir petugas yang datang dalam rangka penegakan aturan itu, seperti yang banyak kita tonton di video dan foto medsos.
Saya di Surabaya nyaris tidak melihat masjid tidak berkegiatan. Sholat berjamaah tetap dilaksanakan dengan protocol kesehatan. Toh aman-aman saja.
Lalu bagaimana ‘nasib’ Surat Edaran Bupati, Gubenur Jatim, Menag RI, Inmedagri dan perintah Wapres RI tentang peniadaan sholat Idhul Adha ? inilah yang kita tunggu !
Namun berkaca tetap berlangsungnya sholat berjamaah di Masjid-masjid hingga kini. Pikiran saya berkata ; kok saya kurang yakin takmir membiarkan sholat idhul Adha berlalu begitu saja. Karena Idhul Adha mempunyai rentetan kegiatan yang tak kalah ‘sakralnya’ dengan pelaksanaan qurban di halaman masjid dan mushollah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah peribadatan di Sumenep terdiri 1.293 Masjid dan 3.017 Mushollah. Saya bayangkan begitu beratnya tugas Pemda Sumenep mewujudkan harapan seperti yang ada dalam Surat Edaran itu, terkait dengan ‘ditiadakannya’ Sholat Idhul Adha tahun ini. Bagaimana caranya ? Bagaimana pula mengerahkan petugas untuk melakukan pemantauan ?Sedangkan sholat lima waktu saja masih berjalan lempang di masjid dan surau.
Tentu banyak terjadi perdebatan alot yang akan muncul di lingkup takmir/pengurus masjid atau mushollah, dalam memaknai Surat Edaran Bupati Sumenep. Bisa jadi ada yang jalan terus, tapi mungkin banyak yang patuh dengan Surat Edaran Bupati. Yang seperti ini tentu menjadi harapan Bupati dan aparat dibawahnya.
Maka perdebatan tak akan jauh jauh dari cara menakar ‘kwalitas’ Surat Edaran itu. Seperti yang menjadi pertanyaan seorang Kiai muda dibalik telpon kepada saya.
Kepada Kiai Muda itu, saya jelaskan- tentang kedudukan Surat Edaran dalam tatanan peraturan perundang undangan: bahwa berdasarkan UU No 12 Tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, hierarki peraturan perundang-undangan, termaktub pada pasal 7 sebagai berikut:
1) UUD 1945, 2) Tap MPR RI, 3), UU/peraturan pemerintah pengganti UU, 4) Peraturan Pemerintah, 5) Perpres, 6) Perda Propinsi, 7) Perda Kab/Kota.
Jadi jenis Surat Edaran itu tidak ada di dalam hierarki menurut UU No 12/2011.
Saya kendati hanya sangat sedikit mengerti persoalan Hukum Tata Negara. Namun saya berani katakan, bahwa Surat Edaran, bukanlah turunan hukum berdasarkan UU itu.
Pengertian saya Surat Edaran itu adalah pemberitahuan ; dan sesuai dengan sifat ‘EDARAN’ adalah pemberitahuan yang bersifat kedalam, bukan untuk mengatur keluar, tidak sepertihalnya Peraturan Daerah yang mengikat umum.
Ya, yang namanya EDARAN, ya di edarkan saja atau disampaikan, tidak memiliki sifat yang memaksa dan memuat ketentuan sangsi atau denda.
Menurut pakar Tata Negara Prof. Refli Harun, untuk perkara mengatur sesuatu, maka harus dibuat peraturan yang berisi pelarangan langsung. Misalnya pelarangan mudik atau jam malam. Jangan diait kaitkan dengan Surat Edaran. Karena Surat Edaran tidak ada dalam hierarki secara konkrit tata urutan peraturan perundang undangan.
Surat Edaran menurut Prof. Refli Harun, pada sifatnya hanya mengikat antara atasan kebawahannya dalam struktur organisasi.
Intinya, lanjut Refli, Surat Edaran hanya perintah pejabat tertentu kepada bawahannya atau orang yang dalam binaannya. Tidak berlaku bagi umum.
Rupanya Kiai muda ‘ngerjain’ saya dalam timpalan ucapannya di telpon, yang kerap mengatakan “ Kan Surat Edaran Bupati ini tidak mengikat dan tak ada kewajiban atau kita wajib mematuhinya ?
“ Bagaimana menurut pendapat Bung Faruk “ sergahnya.
Sayapun agak kaget dengan ‘celotehan’ Kiai Muda yang cukup trengginas bertanya hal itu.
“ Yang pasti Surat Edaran itu tidak terdapat dalam Hierarki turunan perundang-udangan di Negeri ini. Pakar Hukum Tata Negara juga menyatakan seperti itu juga “ jawab saya.
Kukuhnya ummat Islam untuk tetap melaksanakan Sholat Idhul Adha berjamaah di Masjid, seperti yang terrekam jelas dalam percakapan saya dengan Kiai muda itu. Jelas sebuah tangtangan yang cukup ‘menarik’
Jika Bupati Fauzi yang telah terbukti bisa meluluhkan hati warga Sumenep Desember 2020 lalu, dengan memenangkan Pilkada Sumenep, rasanya kini tak sulit meluluhkannya kembali.
Namun ‘bergigi’ kah dengan Surat Edaran yang ia keluarkan untuk PPKM darurat tanggal 16 Juli 2021 lalu dan meluluhkan hati para Kiai, Ulama, Habaib dan tokoh ?
Dalam pikiran saya yang ‘ dadakan ketiban aneh ‘ bertanya.
Dulu Kiai muda itu afiliasi politiknya saat Pilkada kemana ya ?
Namun cepat-cepat saya ‘gampar kedunguan’ saya berpikir itu : dan berucap ; ” Astaghfirullah hal adzim”. Allahu Akbar…, Allahu Akbar Walillahillham. ( J. Faruk Abdillah. )
*) Penulis Adalah Wartawan Senior. Kini Advokat Bantuan Hukum. Ketua DPC Perkumpulan Advokat Indonesia ( PERADIN) Sumenep. Berdomisili di Surabaya.
Tinggalkan Balasan