Program SI-IPAR Polres Deiyai: Wawasan Kebangsaan, Pendidikan, dan Upaya Mencerdaskan

Binmas Noken Polres Deiyai dengan program SI-IPAR (Polisi Pi Ajar) aktif melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah

DEIYAI, ForumNusantaraNews – Semboyan yang sering kali kita dengar sejak masa anak-anak, tertulis dalam bahasa Jawa yang berbunyi, ‘Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani’ yang Bermakna “dari depan, seorang pendidik harus memberikan teladan yang baik; dari tengah, seorang pendidik harus dapat menciptakan prakarsa atau ide; dan dari belakang, seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan dan arahan”, semboyan ini dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hadjar Dewantara.

Hal tersebut tampak melekat dalam sanubari Personil Polres Deiyai dalam program Binmas Noken di bawah kepemimpinan Kapolres Deiyai AKBP Herzoni Saragih, S.I.K. telah memprioritaskan sektor pendidikan.

Personil Polres Deiyai yang dipimpin Ipda Fransiskus Maraya beserta 2 (dua) orang anggotanya yakni Aipda Semin Pakage dan Bripka Agustinus Bawan meningkatkan sektor pendidikan, baik dalam hal tingkat literasi, minat baca, maupun menanamkan Nasionalisme, Cinta NKRI yang dimulai sejak dini dialamatkan ke Sekolah Dasar (SD) YPPK Waghete II, Jl. Poros Waghete, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.

Kedatangan Polisi dari Polres Deiyai itu disambut baik oleh guru dan para murid. Puluhan murid juga berkumpul dan berinteraksi kepada Personil Binmas Noken Polres Deiyai yang turut mengajak para murid untuk mengucapkan isi Pancasila dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan serta memberikan kuis tentang Nasionalisme.

Bangsa kita memiliki keanekaragaman dari aspek suku, latar belakang ekonomi, pendidikan, bahasa daerah, adat istiadat, agama, dan lain- lain, harus tetap dipelihara kesatuan dan persatuannya. Apa pun keadaan bangsa ini, asalkan bersatu, maka segala persoalan akan bisa diselesaikan. Sebaliknya, mana kala persatuan telah terganggu, maka persoalan sekecil apa pun akan berkembang menjadi besar dan rumit, hingga sulit dipecahkan.

Dengan dasar yang kokoh sebagai modal dalam membina kerukunan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Sedemikian bagus, tinggal upaya-upaya untuk mengimplementasikannya.

Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme.

Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal yakni:
1) Intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain);
2) Fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah);
3) Eksklusif (membedakan diri dari umat lainnya) dan;
4) Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Melalui tiga institusi sosial, Polres Deiyai sangat penting untuk memerankan diri dalam melindungi generasi muda, yang sekaligus memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

Lewat Pendidikan, peran Polres Deiyai, dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda, mengimbau keluarga, melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi, juga hadir dalam komunitas melalui peran tokoh masyarakat di wilayah hukumnya dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.

Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan, keluarga dan lingkungan masyarakat, wujud nyata Polres Deiyai mampu memberikan imunitas dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme dengan menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI, memperkaya wawasan yang moderat, terbuka dan toleran, membentengi keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi, hasutan dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun dunia maya, membangun jejaring dengan komunitas damai untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan cinta damai dengan pesan-pesan perdamaian.

Dalam kesempatan itu, Herlina Mote selaku Kepala Sekolah merasa bangga dan mengapresiasi Kapolres Deiyai AKBP Herzoni Saragih, S.I.K. atas program Binmas Noken yang sekaligus mendekatkan diri antara Polisi dan masyarakat adalah bentuk kecintaannya kepada generasi muda Bangsa khususnya murid-murid bisa lebih memahami Polisi.

Diketahui bahwa program Binmas Noken ini adalah program Polda Papua dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat Papua agar Polisi terus menjadi sahabat masyarakat Papua.

SI-IPAR, Program Unggulan Binmas Noken Dalam Mencerdaskan Anak Bangsa

Pendidikan adalah penyeimbang yang hebat. Pendidikan memiliki arti penting bagi kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi investasi terbaik yang mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia. Kejayaan suatu bangsa tidak dilihat hanya dari kekayaan sumber alamnya saja, tetapi bagaimana Sumber Daya Manusianya dapat mengelolanya dengan baik.

Untuk itu, selain Binmas Noken, upaya Polres Deiyai dalam memajukan dan mencerdaskan bangsa khususnya di wilayah hukum Polres Deiyai baik juga Pemerintah perlu menyelesaikan masalah ketimpangan fasilitas pendidikan di seluruh pelosok negeri, untuk kemerataan hak akses masyarakat atas pendidikan, serta dalam upaya penerapan sistem dan program pendidikan terbaik untuk kualitas kecerdasan dan karakter bangsa.

Sedangkan, dalam keluarga, orang tua berperan sangat penting untuk menjadi role model dalam pembangunan karakter anak dan menumbuhkan kebiasaan membaca anak sejak dini. Karena anak-anak memiliki kebiasaan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya.

Pengajar juga sangat perlu untuk terus meningkatkan kapasitasnya guna memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak didiknya. Dan, bagi pelajar, sangat penting untuk menumbuhkan minat, memiliki semangat belajar dan melakukan upaya yang terbaik untuk kemajuan dirinya.

Untuk memajukan kecerdasan bangsa, Binmas Noken Polres Deiyai dengan program SI-IPAR (Polisi Pi Ajar) aktif melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah. Untuk kali ini di SD YPPK Santo Michael Waghete II datang bermain dan belajar bersama murid-murid pada hari Senin, 13 September 2021 sekira pukul 10.30 WIT, di Jalan Poros Waghete, Distrik Tigi Kabupaten Deiyai.

Dipimpin Ipda Frans Maraya, S.Sos. beserta Aipda Semin Pakage dan Bripka Agustinus Bawan setibanya mengawali dengan mengajar tentang wawasan kebangsaan yang diberikan kepada anak-anak kelas 4 dan kelas 5.

Program SI-IPAR juga berinteraksi langsung dengan Para Murid dengan cara mengajak bermain di halaman sekolah sekaligus mengasah keterampilan di depan teman-temannya dalam mengucapkan Pancasila dan menyanyikan lagu Garuda Pancasila.

Dalam kegiatan personil Satgas Binmas Noken juga didampingi oleh Kepala Sekolah Ibu Herlina Mote bersama Ibu guru Yohana Mote. Dalam pesannya, Ibu Guru Yohana Mote mengatakan bahwa program SI–IPAR yang digagas oleh Kapolres Deiyai sangat baik karena kedekatan dengan Polisi menjadi akrab serta dapat belajar untuk mencintai Negerinya sendiri.

Yang penuh perhatian, tajam, dan visioner dapat membantu para guru dan sekolah untuk memikirkan kembali sikap, kepercayaan, dan perilaku mereka terhadap siswa adalah wujud nyata Satgas Binmas Polres Deiyai, yang turut membagikan buku tulis dan Pulpen serta minuman dan makanan ringan kepada para siswa untuk terus menyalakan semangat belajar siswa.

Literasi kesetaraan juga meminta kita untuk menjaga kesetaraan, untuk fokus pada bagaimana menciptakan dan mempertahankan lingkungan belajar yang adil, bebas dari bias yang subtil sekalipun dan ketidakadilan. Ini membutuhkan berbagai jenis pengetahuan dan keterampilan yang berbeda, meskipun dalam beberapa hal saling melengkapi dari apa yang dibutuhkan oleh paradigma berbasis budaya tersebut. Lagi pula, sekadar mengetahui (atau menduga) sesuatu tentang budaya siswa atau memiliki keterampilan untuk berinteraksi lintas budaya tidak sama dengan mengetahui bagaimana mengenali dan merespons bias kelas yang halus dalam bahan pembelajaran atau ketidakadilan dalam kebijakan sekolah.

Setiap buku tentang kurikulum harus dimulai dari awal sehubungan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang mendorong keputusan kurikulum. Ini harus memberikan penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana kurikulum telah ditafsirkan di sekolah, ide-ide utama tentang apa kurikulum seharusnya, dan tokoh-tokoh kunci yang menjelaskannya. Karena ini juga merupakan tentang kurikulum untuk anak berbakat, tentang pendekatan yang ada untuk pengembangan kurikulum untuk populasi khusus itu dan bagaimana Model Kurikulum Terpadu, yang digunakan untuk membingkai dengan skema yang lebih besar.

Dunia persekolahan menyajikan orientasi yang sangat berbeda untuk berpikir tentang apa yang penting dalam kurikulum. Meskipun gerakan standar telah berusaha untuk menjawab pertanyaan tentang filosofi mana dari masalah sekolah, pada kenyataannya standar mungkin hanya berfungsi untuk membingungkan masalah, karena mereka mewakili berbagai perspektif itu sendiri — yang menunjukkan bahwa filosofi tersebut kompatibel pada tingkat tertentu dan membantu dalam pertimbangan pada keputusan kurikulum untuk setiap populasi khusus. Namun tidak ada filosofi tertentu yang begitu khas untuk memegang kendali atas seluruh perusahaan untuk waktu yang lama. Ada lima paradigma kurikulum dengan ontologi, epistemologi, metodologi, aksiologi, dan pemikir berpengaruh terkemuka.

Filosofi ini telah mempengaruhi bagaimana kita mendefinisikan apa itu kurikulum dan bagaimana kita mengatur dan menyampaikan kurikulum tersebut kepada peserta didik, berdasarkan konsepsi kita tentang realitas. Setiap perspektif telah menikmati tempat sentral dalam pemikiran kita tentang kurikulum apa yang seharusnya ada di sekolah. Namun, pendekatan dominan selama 50 tahun terakhir tetap menjadi salah satu pemikiran tentang belajar sebagai penguasaan dan menilai kelompok peserta didik berdasarkan usia dan tingkat kelas dalam domain inti untuk menilai kemampuan mereka untuk menunjukkan penguasaan di bidang tersebut. Pandangan ini paling baik dilihat dalam minat kami pada standar dan penilaian kurikulum, terkait dengan gagasan 9 bulan di sekolah sama dengan 9 bulan belajar. Selama pandangan kurikulum ini mendominasi, sulit untuk membiarkan pandangan lain hadir, apalagi memimpin dalam praktik menginformasikan.

Dalam domain pembelajaran, perspektif rasionalis akademik memegang beberapa arti-penting, dengan pengakuan indikator kualitas konten, penekanan keterampilan tingkat yang lebih tinggi, dan pemahaman dan penilaian konsep pusat disiplin dan disiplin terkait lainnya juga. Dalam upaya kami untuk mengadopsi pandangan baru kurikulum, kami juga mengakui penelitian otak dan dampaknya dalam memikirkan pendekatan kurikulum, mengakui individu sebagai unit analisis untuk pembelajaran nyata, menunjukkan bahwa perbedaan individu perlu menang dalam cara kita menyusun dan merevisi jalur kurikulum untuk belajar. Dengan demikian, filsafat konstruktivis meresapi banyak kurikulum baru di tingkat instruksional, menggunakan pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri.

Akhirnya, filosofi kurikulum yang mempertimbangkan orientasi postpositivis, yang menyarankan kita belajar secara berbeda dalam pengaturan yang berbeda dan dengan orang yang berbeda, sedang dimainkan di banyak sekolah di mana penekanannya didasarkan pada pembelajaran kolaboratif untuk keadilan sosial, untuk hubungan yang lebih baik, dan untuk pengembangan identitas. Dalam mempromosikan multikulturalisme, pandangan kurikulum menjadi lebih proaktif, mengingat pengembangan dan adopsi rencana aksi yang berusaha memperbaiki atau menjungkirbalikkan tatanan sosial yang ada atas nama perspektif minoritas.

Beberapa filosofi juga berlimpah tentang tujuan kurikulum dalam program untuk pelajar berbakat. Dalam arti, masing-masing filosofi ini memberikan kontribusi paradigma yang bersaing. Hubungan model kurikulum pendidikan berbakat dengan paradigma yang ada tentang pendidikan secara keseluruhan, yang masing-masing memberikan beberapa pengaruh atas bagaimana sekolah dilakukan.

Model konstruktivis kognitif diwakili dalam literatur berbakat oleh Model Pengayaan Seluruh Sekolah Renzulli (lihat Renzulli & Reis, 1985, 2014) dan pendekatan serupa lainnya yang menempatkan tanggung jawab untuk belajar di tingkat lanjutan terutama pada siswa, dengan guru yang melayani sebagai fasilitator untuk belajar dengan menyediakan bahan dan sumber daya, menyajikan pertanyaan menyelidik, dan memperkenalkan siswa pada keahlian yang akan mempromosikan proses berpikir tingkat tinggi dan pendekatan pemecahan masalah. Model Komponen Sternberg (1981) juga mengikuti filosofi konstruktivis, didasarkan pada keyakinan bahwa bakat individu untuk pendekatan instruksional yang berbeda akan memandu peserta didik dalam tugas diferensiasi diri karena mereka mencari pendekatan instruksional yang paling cocok untuk pertumbuhan individu mereka.

Model rekonstruksi sosial paling baik diwakili dalam pendidikan berbakat oleh gagasan Ford (lihat Ford, 1996, 2011) dalam mendukung kurikulum multikultural, yang mengkaji berbagai perspektif dan suara dalam memahami fenomena dan peristiwa. Hal ini juga menekankan kebutuhan psikologis masyarakat untuk bergerak melampaui stereotip dan hambatan yang mencegah pemberantasan rasisme, klasisme, dan seksisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik, menunjukkan bahwa siswa adalah agen aktif dalam membuat rencana dan kebijakan untuk memperbaiki dunia mereka.

Model positivis perilaku sejalan dengan baik dengan karya Julian Stanley dan rekan-rekannya (lihat Swiatek, 2002), yang telah mempromosikan model pencarian bakat untuk pelajar berbakat. Berdasarkan asumsi bahwa peserta didik berbakat dapat berkembang lebih cepat melalui pengalaman kurikulum tradisional jika pengalaman ini diatur dengan baik untuk pembelajaran lanjutan, paradigma ini juga mengakui sistem yang mendorong lingkungan pendidikan, berdasarkan premis kemajuan pembelajaran secara linier waktu. Model ini juga dimaksudkan untuk merencanakan, memantau, dan menilai pembelajaran dengan cara tradisional yang memberikan demonstrasi kuantitatif dari pembelajaran yang dicapai.

Model rasionalis akademik adalah yang paling selaras dengan karya VanTassel-Baska dan rekan-rekannya (lihat VanTassel-Baska & Wood, 2009), bekerja dengan Model Kurikulum Terpadu (ICM/Integrated Curriculum Model), yang mengandaikan bahwa pelajar berbakat memiliki kebutuhan yang berbeda yang mungkin paling memuaskan melalui berbagai jalur menuju pembelajaran—akseleratif dan lanjutan, pemikiran tingkat tinggi dan pemecahan masalah, dan konseptual. Pekerjaan ini juga menunjukkan bahwa interaksi dinamis guru dan peserta didik dengan pendekatan ini menghasilkan pembelajaran yang optimal. Ini paling baik dirangsang melalui paparan ide dan produk yang menantang, dari semua budaya dan usia, yang dapat ditiru saat siswa berusaha memahami pengetahuan yang ada dalam disiplin ilmu dan untuk membangun makna bagi diri mereka sendiri.

Model postpositivis mungkin paling baik dijelaskan menggunakan Model Kurikulum Paralel dari pendidikan berbakat sebagai contoh (lihat Tomlinson et al., 2002). Model ini didasarkan pada pengakuan bahwa siswa berbakat mewakili banyak diri yang status pembelajarannya dapat berubah saat mereka dewasa dan tumbuh dengan kecepatan yang tidak teratur. Dengan demikian, jalur pembelajaran harus dibangun yang mengundang mereka untuk fokus pada pembelajaran berbasis sekolah di tingkat lanjutan, pada pekerjaan profesi dalam menggunakan alat dan praktik praktisi dunia nyata, pada pembentukan identitas yang akan membentuk masa depan profesional mereka, dan pada ide-ide besar yang menembus pemahaman dunia lintas disiplin.

Meskipun paradigma ini dapat dilihat sebagai kompetitif, mereka juga dapat dilihat sebagai pelengkap ketika diterjemahkan ke dalam konteks praktik kelas. Kenyataannya, banyak program berbakat mencoba untuk menjadi eklektik dalam orientasi kurikuler mereka, tidak pernah menganggap sepenuhnya satu pandangan di atas yang lain. Hal ini terutama terlihat dalam struktur tujuan program berbakat, yang cenderung mencakup penekanan pada masing-masing orientasi untuk belajar. Yang bervariasi adalah konteks fokus kurikulum. Sebagai contoh, pendekatan Stanley sering merupakan augmentasi pada kurikulum sekolah, yang terjadi melalui kesempatan online dan musim panas untuk belajar, sementara penggunaan pembelajaran berbasis proyek, seperti yang dianut oleh Renzulli, lebih mungkin terjadi di lingkungan sekolah yang melibatkan seluruh populasi sekolah. Model Kurikulum Terpadu (ICM/Integrated Curriculum Model) mungkin lebih mungkin ditemukan dalam program berbasis konten untuk memberikan instruksi berbakat, selaras dengan standar konten yang relevan.

Maksud dari ini adalah untuk memberikan cara yang jelas dan meyakinkan untuk mendekati pengembangan kurikulum untuk peserta didik berbakat dan berkemampuan tinggi yang substantif, ketat, dan sejalan dengan paradigma rasionalisme akademik melalui Model Kurikulum Terpadu (ICM/Integrated Curriculum Model). Pendekatan seperti itu masih yang paling layak, mengingat minat berkelanjutan dalam standar konten nasional dan pengakuan bahwa akuntabilitas harus diperluas untuk menilai pembelajaran otentik siswa, bukan hanya pencapaian jangka pendek mereka di semua bidang pembelajaran yang relevan.

Sehubungan dengan pelajar berbakat, situasi ini telah semakin memperburuk kebutuhan akan kurikulum yang menantang, yang disampaikan dalam konteks instruksi berbasis inkuiri yang dinamis. Dalam pendidikan berbakat, tanggapan terhadap Tidak Ada Anak yang Tertinggal, mesin kebijakan yang memicu degradasi standar dan peningkatan penilaian, telah mengadopsi filosofi diferensiasi untuk semua, menggunakan guru konsultasi sumber daya yang terlatih dalam pedagogi berbakat untuk bekerja di kelas inklusi, dengan harapan mencapai pelajar berbakat dalam konteks ini. Sampai saat ini, ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa strategi ini berhasil (Schroth, 2014), tanpa bukti yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar ruang kelas tidak mempraktikkan diferensiasi untuk yang berbakat (Westberg & Daoust, 2003) dan tidak mengelompokkan pelajar berbakat dalam konfigurasi apa pun yang memungkinkan terjadinya diferensiasi yang berarti.

Bahkan di mana pengelompokan klaster terjadi, itu ditumbangkan oleh guru yang tidak mau atau tidak mampu membedakan subkelompok di kamar mereka, terutama untuk yang berbakat dan berbakat. Meskipun guru pendidikan khusus tersedia untuk konsultasi satu-satu dengan peserta didik, siswa berbakat diperlakukan sebagai bagian dari seluruh kelompok, dengan hasil kurikulum yang sama diidentifikasi dan dicari. Dalam beberapa konteks, pengelompokan cluster diperlakukan sebagai eksperimen, dengan satu kelas pelajar menggunakannya dan yang lain tidak. Dalam pengaturan ini, studi penelitian tindakan telah menunjukkan pembelajaran yang lebih besar secara signifikan untuk ruang kelas menggunakan pengelompokan klaster secara tepat. Mengingat situasi ini, penekanan pada kurikulum dan instruksi berkualitas tinggi untuk pelajar berbakat tampaknya bahkan lebih penting. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem penyampaian harus lebih substansial didasarkan pada kebutuhan pelajar berbakat, yang merupakan waktu kontak yang cukup untuk membuat diferensiasi bekerja di bidang yang relevan.

Sejak awal hampir 30 tahun yang lalu, kurikulum bekerja di Pusat Pendidikan Berbakat telah bersarang di beberapa asumsi yang membuatnya berharga untuk khalayak yang lebih luas dari semua praktisi sekolah, tidak hanya untuk guru dan administrator program berbakat (VanTassel-Baska & Stambaugh, 2008).
> Kami berasumsi bahwa semua anak dapat mempelajari materi yang menantang, dan kami telah mulai menunjukkan kebenaran asumsi itu dengan menggunakan kurikulum berdaya tinggi (dirancang untuk pelajar berbakat) dengan semua pelajar di beberapa sekolah termiskin di negara kita.
> Dengan cara yang sama, kami mengakui bahwa banyak siswa berbakat tidak diidentifikasi atau dilayani karena masalah dengan pembelajaran bahasa kedua, kemiskinan, status minoritas, dan dua kali pengecualian.
> Kami berasumsi bahwa pemikiran tingkat tinggi dapat diajarkan dengan baik melalui domain inti pembelajaran. Kami telah menguji asumsi ini secara sistematis dengan menilai kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah melalui kurikulum seni bahasa, sains, matematika, dan IPS.
> Kami berasumsi bahwa penggunaan pengatur grafis untuk instruksi perancah memfasilitasi pembelajaran, terutama untuk pelajar yang menjanjikan dari latar belakang berpenghasilan rendah dan pelajar beragam lainnya. Bukti penelitian kami menunjukkan bahwa perancah seperti itu jelas berkontribusi pada perolehan belajar siswa yang menggunakan materi kurikulum kami.
> Kami berasumsi bahwa beberapa jalur untuk belajar, serta beberapa pendekatan untuk penilaian pembelajaran itu, meningkatkan kemungkinan bahwa siswa akan mendapat manfaat dari instruksi yang direncanakan. Pekerjaan kami secara konsisten menggunakan beberapa model dan alat penilaian, termasuk berbasis kinerja, portofolio, dan standar, untuk menangkap sifat dan tingkat pembelajaran otentik siswa.
> Kami berasumsi bahwa pengembangan profesional harus meningkatkan pengembangan dan penyebaran materi kurikulum untuk pembelajaran siswa agar dapat dioptimalkan. Untuk itu, kami telah menawarkan peluang pengembangan profesional berkelanjutan ke sekolah, distrik sekolah, pemerintah daerah, dan kelompok universitas yang ingin menerapkan unit kurikulum studi.

Mengingat bahwa sifat dan kebutuhan siswa berbakat sangat luas, kami telah membuat bab untuk mengatasi kebutuhan yang bervariasi dan beragam ini, menghormati cara di mana subpopulasi ini berbeda dari pelajar berbakat lainnya tetapi juga cara mereka sama.

Asumsi-asumsi ini juga dioperasionalkan dengan menunjukkan pentingnya jaringan penghubung antara kurikulum, pengajaran, penilaian, dan pengembangan profesional dalam karya perubahan pendidikan yang positif. Akibatnya, dalam ini kami telah memperbarui tentang pengembangan profesional untuk memberikan komentar khusus tentang pentingnya dalam mengembangkan koherensi pembelajaran. Model Kurikulum Terpadu (ICM/Integrated Curriculum Model) juga memiliki relevansi dengan bidang lain dari kurikulum seperti seni, teknologi, dan bahasa asing. Dengan demikian, kami telah memasukkan bab-bab pada tiga bidang kurikulum ini, yang masing-masing sangat penting bagi pelajar berbakat dan dapat disejajarkan dengan prinsip-prinsip diferensiasi ICM. Kami juga telah menambahkan sebuah bab tentang kurikulum afektif, sebuah integrasi penting ke dalam unit-unit yang dikembangkan oleh Model Kurikulum Terpadu (ICM/Integrated Curriculum Model) belajar di setiap bidang konten. Selain itu, karena template standar konten selalu menjadi latar belakang pekerjaan yang dilakukan dan terus menjadi panduan yang kuat dalam mempengaruhi diferensiasi, kami telah memperbarui bab untuk fokus pada bagaimana standar dapat dibedakan dengan baik untuk orang yang berbakat di bidang mata pelajaran yang relevan.

Seperti yang kita ketahui sekarang, pendidikan berbakat bukanlah masalah TK sampai kelas 12, melainkan salah satu yang meluas sepanjang tahun sarjana. Akhirnya, kami berharap teks ini memberikan data tambahan kepada para pendidik untuk mendukung penggunaan strategi diferensiasi yang efektif untuk anak berbakat, termasuk penggunaan bahan kurikuler berbasis penelitian, yang disampaikan dalam pengaturan pengelompokan yang fleksibel. Klaim kami tetap serupa, namun, dengan yang ada—kami menegaskan bahwa adalah mungkin untuk mengembangkan kurikulum berdaya tinggi, kaya, dan kompleks yang memperlakukan konten, proses, dan pertimbangan produk sebagai mitra setara dalam tugas mendidik pelajar berbakat. Selanjutnya, kami berpendapat bahwa konsep atau tema yang menyeluruh dapat mengikat studi kurikulum bersama di dalam dan di seluruh bidang pembelajaran sehingga siswa dapat menghargai dunia ide sebagai jembatan superordinat untuk memahami dunia mereka. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *