Catatan : J. Faruk Abdillah.*)
Hari hari disaat pemerintah memperbelakukan PPKM Darurat dengan segala jurus, tenaga, anggaran dan kekuatannya ; tak membuat seluruh rakyat patuh. Justru tak sedikit perlawanan yang dihadapi para petugas yang bersusah payah yang bertugas dilapangan.
Apakah rakyat tengah membangkang ?
Dalam theory social, pembangkangan rakyat kerap disebut dengan “ pembangkangan sipil “; yakni penolakan untuk mematuhi hokum terntentu atas perintah dari suatu pemerintahan.
Acapkali pula hal itu dihubung-hubungkan dengan lemahnya kepemimpinan, dektator, semena-mena, korupsi merajalela, ketidak adilan, kemiskinan, pengangguran, amburadulnya tatanan peraturan dan akibat pemerintahan yg tidak berpihak pada rakyatnya. Dan menjauh dari kata ADIL. Sehingga pemerintah kehilangan legitimasi rakyatnya.
Hari hari ini, public juga dikejutkan dengan Surat Edaran Gubenur dan Bupati Sumenep, tentang ‘ditiadakannya’ kegiatan Sholat Idhul Adha 2021 dengan alasan PPKM Darurat. Ditambah lagi dengan pernyataan Wapres Ma’ruf Amin dalam sebuah rekaman vedio yang menyatakan :
Detik 12 .“ nanti sesuai dengan ketentuan tidak melakukan kerumunan salah satunya melakukan sholat idhul adha, baik dimesjid ataupun diluar masjid.
Detik 42. “ di dalam aturannya tidak ada lagi kata-kata menutup masjid tapi yang ada dilarang berkerumun’.
Namun Wapres yang juga kiai itu, pada detik 34 menyatakan :
“ yang tidak boleh itu berjema’ah, baik rowatib, maupun juga sholat Jum’at, termasuk juga Idh, dan Idh itu tidak hanya di dalam masjid, tapi juga diluar masjid, sampai keadaan memungkinkan lagi “.
Kemungkinan bingung mengartikan kalimat ini ; aturannya kata Wapres “ tidak menutup masjid tapi dilarang berkerumun”. Pada kalimat yang lain Wapres menyatakan “tidak boleh sholat jama’ah dan rawatib serta berkerumun”.
Surat Edaran ( SE ) Gubenur dan Bupati memberi ‘sengatan’ tambahan dalam pemberlakuan PPKM Darurat, agar warga mematuhi seluruh aturan PPKM.
SE Bupati Sumenep No. 451/106/435.12/2021 Tanggal 16 Juli 2021, tentang PPKM Darurat, nyaris ‘copy paste’ SE Gubenur Jatim No. 451/14901/012.1/2021 yang dikeluarkan 7 juli 2021. Sehingga menambah bobot ketentuan berlakunya PPKM Darurat seperti yang dimumkan Wapres.
Tekanan lain tertuang dalam kalimat : “tidak mengadakan kegiatan peribadatan “ yang tertulis dalam SE Bupati Sumenep”. “MENIADAKAN” dalam isi SE Gubenur Jatim, “Peniadaan sementara Peribadatan di tempat ibadat” seperti dalam SE Menag 17/2021 tanggal 2 Juli 2021.
Dan “ … Tidak mengadakan kegiatan peribadatan/ keagamaan berjemaah. Selama masa penerapan PPKM.“ seperti yang tertuang di Inmendagri No 15/2021 dan perubahannya No 19/2021 Tanggal 9 Juli 2021.
Dari redaksi yang dipilih, ternyata tidak adanya keseragaman penggunaan tata bahasa dalam satu ketentuan. Sungguh cukup unik dijadikan diskusi dari produk tata administrasi pemerintahan kali ini.
Serunya lagi, disaat Menag keluarkan SE 17/2021 tentang : Peniadaan Peribadatan Ditempat Ibadat tanggal 2 Juli 2021. Muncul Surat Edaran Bupati Sumenep No . 451/187/435012/2021 tanggal 2 Juli 2021.
Isi dalam SE Bupati Sumenep itu, justru berbilang kata yang lain. “Yakni meminta takmir masjid, mushollah dan Ponpes untuk menyelenggarakan doa bersama dan pembacaan sholawat di masjid/mushollah dan ponpes dengan menggunakan protocol kesehatan.” ( Yang saya terima dengan dilampiri teks tulisan Arab Shalawat Syifa ( Tibbil Qulub )
Surat Edaran (SE) Bupati Sumenep No 451/187/435012/2021 dan No. 451/106/435.12/2021 itu, masih ‘suweegeerr’ dalam benak rakyat. Sebab peristiwanya dalam bulan Juli. Namun jika ditelah isi SE Bupati tersebut, ‘bertabrakan’ dengan SE yang satunya. Dan jika rakyat yang menafsirkan, mungkin jadi lebih ‘berantakan’. Mereka akan berkata : “ Be erik esoro maca sholawat ben adhu’a e Masjid, sateya epatadek kegiatan paribedhen e masjid. Reya sapa se posang eleggena kanak “ mungkin gerutunya seperti itu. “Duh pon bikan, bule mek tak ngarte”, ujar R. Tajul Arifin ketika saya diskusi hal yang lain pada suatu ketika.
Saya menyangkan lemahnya kajian-kajian hokum di institusi Pemkab, dalam memproduksi surat-surat ke public – yang menurut saya ‘kacau’ dan ‘memalukan’.
Saya tidak paham bagaimana tradisi kajian hukum di institusi sekelas Pemkab dalam menelorkan produk hukum. Dulu, setahu saya ada Doktor hukum di Setkab bernama Suharjono.( Jono ). Artinya jika ia diperankan sebagai ahli hukum, mungkin akan berbeda kwalitasnya.
Bayangkang dua produk Surat Edaran Bupati ‘akeket’ ( gelut = Jawa. Maaf saya tidak ingin mengatakan itu mirip One Pride TV One lho ?. ).
Hayyo, coba bayangkan; Dua Surat Edaran ( SE ) Bupati Sumenep yang berbeda tujuan, harapan dan capaiannya, yang kini telah menjadi milik public, dan harus dipedomani masyarakat di masa PPKM Darurat. Ternyata cukup membingungkan. Maaf, tolong koreksi jika ada pendapat lain.
Bagaimana caranya rakyat mengimplementasi kedua SE itu ?
Saya membayangkan ada Ilustrasi percakapan warga yang mungkin terjadi di Sumenep terkait dua Surat Edaran Bupati itu, seperti ini ;
“Novel de’ emma a bekna”, tanya Yasin.
“Ka Masjid Darussalam. Bede apa ye, pola bede du’ uman berres “ jawab Novel.
“ Beh tak olle Vel, kan bede Surat Edaran Bupati Sumenep “ jawab Yasin.
“ Surat Edaran se e-kemma’an se- etagenni bekna, mak oma tao “ jawab Novel.
“ Ye Surat Edaran Bupati se tanggal 16 Juli 2021 “ jawab Yasin.
“ Se sengngkok andik Surat Edaran Bupati se lebbih ‘seppoh’ dari se-bekna, tanggalle se-sengkok 2 Juli 2021. Surat Edaranna- na sebekna kalah seppoh ka se-sengkok,
Mara norok sengkok ka masjid etembeng mon ngalamon e dhalem bengko “ timpal Novel.
“ Bekna ngibe Surat Edaran Bupati se tanggal 2 Juli 2021” tanya Yasin memaksa.
“ Reya’ eleppet edalem songko’. Mon beda se alang-alang pas epatoa “ jawab Novel ketus.
“ Oh iye-iye, sengkok loppa jek bekna reya Sarjana Hukum,“Jawab Yasin membebek.
Ilustrasi cerita tersebut diatas, bisa menjadi dalih ‘pembangkangan’ masyarakat luas. Karena dua SE Bupati Sumenep itu, menjadi pintu kegiatan PPKM Darurat yang terkait dengan kegiatan Masjid/tempat ibadah.
Kini tergantung selera masyarakat, SE Bupati yang mana yang akan dipakai dalam berkegiatan di Masjid ?.
Maka jika rakyat tidak lagi patuh pada himbauan, perintah, harapan, Surat Edaran Bupati Sumenep terkait penggunaan Masjid ; Jangan sekali-kali rakyat yang disalahkan. Bacalah lagi Surat Edaran Bupati No : 451/187/435.012/2021 tanggal, 2 Juli 2021.
Lalu mau diapakan Surat Edaran Bupati itu ?
Tekkok…, hey-hey-hey ayoo cepat dicabut.
Tekkok…, gengsi aahhh.
Tekkok…, iya ya, benar juga ya…
Tekkkoookkkkkkk…., busyet !, gara-gara si tukang kritik itu kita dibikin ribet.!!!
Suara tokekpun berhenti, saat melahap tubuh nyamuk yang ringkih dengan rakusnya. ( J. Faruk Abdillah )
*) Penulis adalah Wartawan Senior. Advokat Batuan Hukum. Ketua DPC Perkumpulan Advokat Indonesia ( Peradin ) Sumenep. Berdomisil di Surabaya.
Tinggalkan Balasan